Mungkin banyak
sahabat yang sudah tau dan merasakan asam garam kehidupan di dunia ini atau mungkin
sahabat jauh lebih mengerti hidup dari pada saya. Catatan ini saya tulis karena
saya rasa saya masih perlu belajar untuk hidup dan bagaimana rasa seseorang
yang hidup. Bukan berarti saya ini arwah gentayangan yang sudah tidak merasakan
kehidupan. Tapi saya belum benar-benar mengerti cara untuk hidup dan bertahan
dari derasnya alur kehidupan.
Terkadang saya
berpikir hidup itu bagaikan luasnya lautan yang perlu diarungi, dan hidup akan
di menangkan oleh nakhoda yang benar-benar mengerti cara mengarungi lautan
tersebut. Atau hidup ini layaknya pappus
bunga dandelion yang akan berterbangan dengan bebas ketika kita meniupnya.
Banyak hal yang tidak saya mengerti tentang hidup ini. Semakin banyak pula simpul
kehidupan yang bahkan saya tak mampu sama sekali untuk menguraikannya.
Seseorang
mungkin dapat dengan bangga menguraikan kisah hidupnya dan ada juga seseorang
yang sangat enggan menguraikannya. Bukan berarti ia malu dan tak senang dengan
hidupnya, melainkan begitu kompleks dan eratnya simpul yang harus ia hadapi.
Bagaimana dengan sahabat pembaca ?
Lantas bagaimana
dengan hidup saya ? saya sendiri tak tau arus mana yang telah saya ikuti.
Terkadang hal yang menurut saya baik belum tentu dipandang baik oleh orang
lain. Oke, itu kembali pada perspektif masing-masing individu dalam memahami
hidup. Saya tak memungkiri bahwa banyak hal yang saya tak sepaham dengan orang
di sekitar saya. Tidak jauh-jauh, dalam keluarga saya sendiri saja banyak
terjadi masalah. Bahkan terkadang saya berpikir keluarga saya ladang masalah.
Seberapapun saya berusaha memahami dan toleran serta menyayangi mereka, tetap saja
ada banyak hal yang kurang pas di hati saya.
Ayah, Ibu
bolehkah saya mengutarakan isi hati saya? Pertanyaan tersebut sering terlintas
di pikiran saya. Yah, saya akui walaupun saya tinggal bersama orang tua tapi
yang saya rasakan bagaikan anak kos yang numpang untuk tidur dan terkadang
memang tidak diperdulikan. Bahkan terkadang saya merasa iri terhadap
teman-teman kos saya yang mempunyai banyak teman dikosannya yang dapat berbagi
suka maupun duka.
Ayah, Ibu. Saya
diam bukan berarti saya tak mengerti hal yang menjadi masalah pada keluarga.
Mungkin saya terlalu pengecut untuk hanya sekedar membela diri saya sendiri.
Jika bisa saya berteriak setiap pagi saya ingin mengatakan jangan bertengkar.
Saya benci melihat kalian yang selalu berteriak-teriak setiap pagi. Ayah
bisakah sedikit saja mengerti putrinya yang satu ini? Ibu bisakah juga mengerti
saya?
Ayah saya mohon
jangan memaksakan kehendak ayah pada semua keluarga. Saya mengerti posisi ayah
sebagai kepala keluarga yang memiliki semua kuasa atas sendi pada keluarga.
Tapi bisakah ayah mengerti perasaan anggota keluarga. Mungkin dibandingkan
dengan adik saya merasa lebih jauh dari kasih sayang seorang ayah. Dari kecil
ayah mendidik saya dengan keras dan peraturan yang benar-benar membuat saya
merasa sangat lemah. Saya selalu menjadi sasaran ayah ketika di rumah ada yang
tidak beres. Bahkan terkadang kenangan manis dan hangatnya seorang ayah seolah menjadi mimpi bagi saya dan hanya
tersisa kenangan pahit yang harus saya reguk.
Ibu, saya sayang
ibu dengan ayah. Terkadang alangkah lebih baiknya jika permasalah pada keluarga di selesaikan antara ibu dan ayah
saja. Saya sebagai anak merasa tak perlu melihat dan mendengar kalian berdua
setiap hari bertengkar. Hal ini membuat saya benar-benar menjadi seorang anak
yang tak berguna untuk hidup di dunia ini. Saya mengutarakan semua bukan berarti
saya merasa benar. Saya hanya merasa tak kuat jika setiap hari harus seperti
ini. Ini terlalu berat buat saya.
Saya tidak
berusaha untuk menjatuhkan atau memoles bagus keluarga saya. Ini adalah
pandangan saya tentang hidup yang selama ini saya lalui. Saya sadar keluarga
saya mencerminkan diri dan hidup saya. Kembali pada pepatah bijak yang
menyatakan bahwa tak ada manusia yang sempurna. Hal tersebut layaknya cambuk bagi
saya untuk tetap bernafas dan berusaha tidak lari lagi dari hidup saya. Inilah
hidup saya sahabat.
0 komentar:
Posting Komentar